MONITOR Sulut-Praktisi perumahan Provinsi Sulut, Evert Lumi berpendapat, program 10.000 rumah yang menjadi unggulan salah satu pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Manado dinilai tidak realistis.
Menurutnya, bila program 10.000 rumah tersebut dibahagi 2.000 unit rumah pertahun dan dibangun diatas lahan 20 hektar, maka tidak akan terpenuhi.
“1 unit rumah tipe 27 membutuhkan 72 meter persegi. Jika lahan yang disiapkan hanya 20 hektar pertahun, saya pikir tidak masuk akal kalau terbangun 2000 unit. Hitungannya sederhana yaitu, 20 hektar awalnya dikurangi 20% atau 200.000 meter persegi untuk RTH (Ruang Terbuka Hijau), sesuai ketentuan peraturan yang berlaku. Kemudian, sisa lahan itu dibahagi 2 untuk 40%-nya atau 64.000 meter persegi dibangun fasilitas umum dan fasilitas sosial. Sisa 60%-nya lagi atau 96.000 meter persegi merupakan kavling efektik untuk dibangun rumah. Kalau dihitung 96.000 meter persegi dibahagi 72 meter persegi untuk 1 rumah, maka hanya bisa dibangun diatas lahan 20 hektar sebanyak 1.333 unit saja. Jadi, kalau 100 hektar, hanya terbangun 6.666 unit rumah,” kata Lumi.
Lanjut ketua DPD Asosiasi Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (APERSI) Provinsi Sulut ini berpendapat, program 10.000 unit rumah ini berbentuk kopel atau rumah berderet.
“Kalau rumah tipe kople saat ini kurang diminati pembeli. Karena setiap rumah hanya dibatasi dinding saja. Jadi modelnya, 1 atap terdiri dari beberapa rumah,” tutur Lumi.
Sementara itu, Robby Palar yang juga praktisi perumahan berpendapat, untuk program 10.000 rumah ini membutuhkan lembaga pembiayaan.
“Kalau mereka akan mendirikan BUMD untuk merealisasikan program ini, maka BUMD ini harus terdaftar sebagai lembaga pembiayaan. Dan menurut saya, pemerintah pusat saja yang mengandalkan APBN pada program 1 juta rumah, menggunakan pihak bank sebagai lembaga pembiayaan,” ujar Palar.
Ditambahkannya, program itu juga memiliki deretan birokrasi yang perlu dilalui agar terealisasi. Pembebasan dan pemberian hibah untuk dijual-belikan, merupakan rangkaian tahapan birokrasi.
“Sebelum dijual ke masyarakat, meski tanpa uang muka, eksekutif harus mendapatkan persetujuan lembaga legislatif untuk program pembebasan lahan. Selanjutnya, eksekutif juga perlu persetujuan legislatif bila lahan yang merupakan aset pemerintah dihibahkan ke BUMD yang dimaksud untuk dibangunkan rumah dan kemudian dijual ke masyarakat. Dan perlu diingat juga, untuk pengurusan Sertifikat, memerlukan biaya tambahan diluar dari anggaran pembebasan lahan dan pembangunan rumah,” tambahnya.
Lumi maupun Palar menilai, program ini tidak akan teralisasi, seperti program yang dijanjikan Anis Baswedan dan Sandiaga Uno pada Pilkada DKI Jakarta.
“Padahal program Anis dan Sandi menggunakan pihak bank sebagai lembaga pembiayaan. Tapi tidak bisa jalan juga karena tampa DP. Saran kami berdua, baiknya bila pasangan calon yang memprogram 10.000 rumah itu terpilih, mereka mendukung saja program pemerintah pusat 1juta rumah. Dengan cara, memberikan subsidi tambahan kepada masyarakat yang hendak membeli rumah milik pemerintah pusat itu,” saran Lumi diamini Palar. (***)