Perda Cap Tikus Sebagai Wujud Pemenuhan HAM dan Hak Konstitusional

Penulis Pascal Toloh,SH

MONITORSULUT,MANADO – Cap Tikus adalah minuman beralkohol tradisional Minahasa dari hasil fermentasi dan distilasi air nira dari pohon aren. Minuman ini sudah dikenal sejak lama oleh masyarakat Minahasa, dan umumnya dikonsumsi oleh para bangsawan atau oleh masyarakat umum dalam acara adat.
Cap Tikus adalah minuman keras (miras) yang cukup populer asal Minahasa. Cap Tikus dibuat dari sadapan air nira atau disebut dalam bahasa lokal dengan nama saguer yang kemudian disuling hingga menghasilkan sebuah cairan mengandung alkohol dinamai cap tikus (Wikipedia).
Warisan adat Minahasa ini merupakan bagian dari hak masyarakat hukum adat, sebagaimana penelitian C. Van Vollehhoven dalam bukunya Het Adat Recht van Nederland Indie menetapkan 19 lingkaran hukum adat yang termasuk di dalamnya adat Minahasa. C. Van Vollehhoven menganalisa terhadap ciri-ciri khusus yang berlaku di setiap lingkungan hukum adat.
Ciri-ciri tersebut kemudian diujikan terhadap sistem-sistem hukum adat yang terdapat pada masyarakat-masyarakat di daerah-daerah yang semula diidentifikasikan sebagai tempat-tempat yang secara hipotesis diberi nama lingkungan hukum adat.
Masyarakat hukum adat memiliki hak yang harus dilindungi sebagaimana yang dijamin konstitusi dan berbagai konvensi internasional. Minuman tradisional Cap Tikus merupakan kearifan lokal yang memiliki nilai kebudayaan dan ekonomis sebagai hak masyarakat hukum adat minahasa.
Petani Cap Tikus yang tersebar di Sulawesi Utara memiliki harapan yang sangat besar terhadap usaha tradisional ini karena Cap Tikus merupakan sumber mata pencaharian untuk menghidupi keluarga dan keberlangsungan pendidikan anak-anak mereka. Pemasalahan produksi yang dianggap ilegal, distribusi yang sering kali dikriminalisasi dan pengembangan sumber daya petani yang rendah.

Perjuangan untuk mengatasi permasalahan tersebut mendapatkan angin segar ketika komoditas Cap Tikus sebagai produk kearifan lokal warga Sulawesi Utara khususnya suku Minahasa telah ditetapkan dalam Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) dalam program Pembentukan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Utara pada tahun 2022.
Penghormatan Terhadap Hak Masyarakat Adat
Kearifan lokal sebagai hasil produksi kebiasaan yang hidup dan tumbuh bersama masyarakat Adat Desa/Adat Daerah dan diimplementasikan dalam kehidupan sosial dan kekerabatan dalam masyarakat. Khususnya masyarakat Indonesia yang masih sangat kuat dan eksistensinya tertanam sejak dulu hingga sampai sekarang menjadi pedoman dalam aktifitas dalam kehidupan masyarakat yang sangat terkait dengan hukum yang berlaku dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yakni Hukum Positif.
Sejak Indonesia berdiri sebagai negara berdaulat, hukum adat memiliki eksistensi dalam perkembangannnya, hukum adat bahkan mendapat kedudukan khusus dalam perkembangan hukum nasional. Dalam beberapa tahun belakangan di dalam pembentukan hukum nasional pun, kebiasaan-kebiasaan (sering disebut kearifan lokal) yang hidup dalam masyarakat menjadi salah satu pertimbangan penting dalam pembentukan hukum negara, baik pada pembentukan Undang-Undang maupun dalam pembentukan peraturan daerah dengan corak sistem hukum rakyat (Folk Law).
Pengakuan dan perlindungan atas masyarakat hukum adat dalam Konstitusi merupakan salah satu refleksi dari Negara Modern. Hak masyarakat hukum adat merupakan natural rights yang lahir dari proses sosial dan tumbuh dari warisan antar generasi (Zakaria, 2010:6).
Konstitusionalitas hak masyarakat adat tertulis dalam Pasal 18b ayat (2) UUD NRI 1945 bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”, frasa mengakui dan menghormati tesebut merupakan jaminan negara terhadap eksistensi masyarakat hukum adat.
Pengertian masyarakat hukum adat dapat ditemui dalam UU No 27 Tahun 2007 Jo. UU No 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Pasal 1 Angka 33 “Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara turuntemurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Masyarakat hukum adat merupakan subjek hukum komunal yang memiliki hak-hak khas sesuai dengan kultur masing-masing, dalam konstitusi jaminan hak masyarakat adat terdapat dalam Pasal 28 I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa, “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Jika dicermati maka terdapat perbedaan istilah yang digunakan dalam Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menggunakan istilah “masyarakat hukum adat” dan “hak tradisional” sedangkan Pasal 28 I ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menggunakan istilah “hak masyarakat tradisional”.
Dalam terjemahan Konvensi Masyarakat Hukum Adat Tahun 1989 disebutkan bahwa,
“Indigenous and tribal peoples diterjemahkan menjadi Masyarakat Hukum Adat sesuai dengan istilah yang dipergunakan Komnas HAM dan Mahkamah Konstitusi. Terjemahan lain yang umum digunakan adalah masyarakat adat dan masyarakat tradisional”. Dengan demikian baik istilah “masyarakat hukum adat” dan “masyarakat tradisional” dalam Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dapat dianggap mempunyai kesamaan maksud/arti.
Dalam Pasal 26 ayat (1) Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat dinyatakan bahwa, “Masyarakat adat memiliki hak atas tanah-tanah, wilayah- wilayah dan sumber daya-sumber daya yang mereka miliki atau duduki secara tradisional atau sebaliknya tanahtanah, wilayah-wilayah dan sumber daya-sumber daya yang telah digunakan atau yang telah didapatkan”. Selanjutnya dalam Pasal 26 ayat (2) dinyatakan bahwa, “Masyarakat adat memiliki hak untuk memiliki, menggunakan, mengembangkan dan mengontrol tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya-sumber daya yang mereka miliki atas dasar kepemilikan tradisional atau penempatan dan pemanfaatan secara tradisional lainnya, juga tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya-sumber daya yang dimiliki dengan cara lain”.
Sementara dalam Deklarasi Universal HAM (DUHAM) ditetapkan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (EKOSOB) menyangkut kualitas hidup dan nilainilai budaya individu atau kelompok masyarakat sebagai makhluk yang berintegritas. Hak ini mencakup hak pekerjaan, keamanan sosial, kehidupan berkeluarga, kebudayaan, akses sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan.
Dalam tatanan internasional, hak EKOSOB diatur dalam International Covenant on the Economic and Social Rights (ICESR) yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005. Manifestasi dari ICESR dalam Konstitusi dapat dilihat dalam pasal 26-31 UUD 1945 yang diperuntukkan sebagai jaminan HAM bagi seluruh warga negara, yang sejatinya juga mencakup masyarakat hukum adat.
Captikus yang adalah hasil sumber daya alam masyarakat adat minahasa merupakan objek pangan yang bernilai ekonomis yang harus dilindungi karena merupakan suatu identitas budaya adat minahasa dan dimanfaatkan secara tradisional serta menyangkut dengan penghidupan masyarakat minahasa, sehingga pengelolaan Captikus merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang terkandum dalam Konstitusi serta Undang-Undang.
Pengakuan dan penghormatan atas masyarakat hukum adat secara yuridis-konstitusional tersebut harus diimplementasikan secara konkret oleh negara dalam rangka memberikan perlindungan hukum secara optimal. Perlindungan hukum atas masyarakat hukum adat tidak ada artinya jika tanpa ada pemenuhan hak dasar masyarakat hukum adat yang disebut hak otonomi. Dengan adanya hak otonomi berarti masyarakat hukum adat mempunyai kebebasan untuk mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri tentu dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Urgensi Perda Captikus
Manfaat pengelolaan minuman tradisional Cap Tikus sangat dirasakan oleh masyarakat miahasa khusunya para petani Cap Tikus, pengelolaan Cap Tikus yang merupakan bagian dari Hak Masyarakat Adat Minahasa secara yuridis konstitusional harus diimplementasikan secara konkrit oleh negara dalam rangka memberikan perlindungan hukum secara optimal. Perlindungan hukum atas masyarakat hukum adat tidak ada artinya jika tanpa ada pemenuhan hak dasar masyarakat hukum adat yang disebut hak otonomi.
Dengan adanya hak otonomi berarti masyarakat hukum adat mempunyai kebebasan untuk mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri tentu dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (Sulastriyono 2014:16), Kristalisasi Hak Otonomi terwujud dengan adanya Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Mengenai Pengelolaan Captikus telah di Provinsi Sulawesi Utara.
Muatan peraturan daerah menurut Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan atau penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Fokus pada frasa kondisi khusus yang bermakna bahwa Perda dapat menjadi instrumen hukum yang mengakomodir nilai-nilai budaya atau ciri khas sosial yang ada dalam suatu daerah berdasarkan semangat otonomi daerah. Ranperda Cap Tikus memuat kondisi khusus daerah Sulawesi Utara yang memiliki Cap Tikus sebagai minuman khas daerah yang memiliki nilai kearifan lokal dari kebudayaan minahasa sehingga secara materil Ranperda Cap Tikus layak menjadi payung hukum berbentuk Perda bagi masyarakat sulawesi utara petani dan konsumen Cap Tikus.
Urgensi Perda mengenai Cap Tikus adalah untuk menjamin dan melindungi para petani Cap Tikus, yang sering kali dijadikan subjek pelanggar aturan dan objek yang dianggap tidak legal padahal dapat memberikan manfaat bagi kelangsungan hidup masyarakat. Perda Cap Tikus merupakan produk hukum yang responsif karena dapat mengakomodir aspirasi masyarakat dan menyelesaikan konflik vertikal antara negara dan masyarakat.
Perda Cap Tikus merupakan manifestasi dari tujuan hukum, Notohamidjojo merumuskan tujuan hukum adalah untuk melindungi hak dan kewajiban manusia dalam masyarakat, melindungi lembagalembaga sosial dalam masyarakat, (dalam arti luas yang mencakup lembaga-lembaga sosial di bidang politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan). Atas dasar keadilan untuk mencapai keseimbangan serta damai dan kesejahteraan umum. Sebagaimana aliran utilitas menganggap, bahwa tujuan hukum sematamata untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyakbanyaknya warga masyarakat.
Penanganannya didasarkan pada filsafat sosial, bahwa setiap warga masyarakat mencari kebahagiaan, dan hukum merupakan salah satu alatnya seperti halnya Peraturan Daerah tentang Cap Tikus.(*)