Nalar Politik: Merawat Ingatan Demokrasi Jenis Pilkada di Bolmut

MONITOR SULUT, BOLMUT – Dalam hitungan bulan, tak sampai tahun, arus demokrasi jenis Pilkada akan menerjang Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Bolmut). Pilihannya hanya ada dua, “jika melawan arus akan tergerus – jika ikut arus akan tercebur” dan itu pertanda bahwa masyarakat membutuhkan penyaring “Filter” sebagai “kode-awas” dalam menjalaninya. Meminjam istilah Coen Husain pontoh “bijak dalam menilai mana politik identitas dan politik kelas”.

Masyarakat butuh perubahan, bukan penghujatan (Save Bolmut dari politik Hojat/Hujat). Sudah barang tentu Pilkada kali ini pun akan menelan bayak energi, baik pemain “Fighter” maupun penontonnya “Followers”, entah itu waktu-materi-krisis-bisnis-miris. Toh semua wajib-pilih akan disuguhkan potret seperti yang di ungkapkan Charles de Gaulle mantan Presiden Perancis “Untuk menjadi tuan, politisi menampilkan diri seperti pelayan”. Meski yang dilayani terkadang hanya “ambisi” berkedok “pemilih”, entahlah!

Mengarungi samudera Otonomi Daerah memang membutuhkan “Bahtera” yang kuat serta di topang dengan “nahkoda” yang tangguh dan tidak mudah karam ditengah jalan, apalagi sampai tenggelam akibat badai yang tak kunjung redah. Pun sama halnya dengan kabupaten bolmut yang meski usianya belum genap satu dekade, jenis politik adu-domba (new devide et impera) sering menghiasi. Nalar politik Jenis elitis seperti inilah yang mesti di-“kuliti” oleh seluruh elemen masyarakat sebab penyakit politik ini telah meresahkan, sebagaimana menerjang Indonesia di zaman penjajahan, dan tidak mustahil dapat berlaku di tanah bolmut. Bukan saatnya lagi kita di cekcoki dengan irisan hojat-tanpa hormat.

Hal terberat dalam kampanye politik apa pun adalah bagaimana menang tanpa membuktikan bahwa anda tidak layak untuk menang. Meski demikian, dalam politik dibutuhkan pelbagai bentuk “Agitasi dan propaganda” sebagai bumbu penyedapnya, sepanjang itu tidak membuat warga menjadi “pecandu” konflik horizontal (sesama warga bolmut).

Konsumsi masyarakat bolmut dewasa ini adalah pidato, tulisan dan berita “angin” dan sebaliknya pidato, tulisan dan berita hanya berisi “angin”. Layaknya janji politik, para politisi tak lama lagi akan berubah menjadi ramah meski itu hanya sesaat. Sepanjang hajatan politk jenis pilkada yang bakal berlangsung ini, kemawasan diri warga bolmut di-uji kembali. Sirkulasi kepemimpinan (menjadi orang nomor satu) kepala daerah sering memperngaruhi maju dan mundurnya daerah tersebut.

Kali ketiga Pilkada yang bakalan di hadapi, kedewasaan memilih pemimpin menjadi prioritas. Bukannya penguasa yang tamak serta hanya mementingkan kelompok / golongan / keluarga dsb. Nepotisme dalam jenis apapun mesti dihapus. Sudah saatnya Bolmut dipimpin oleh sosok “negarawan”. Melihat “warga” tidak sepicik “pemilih”.
Bukankah, gotong-royong / tenggang-rasa / toleransi antar umat beragama telah menjadi akar kebersamaan kita, kenapa harus tercerai-berai hanya karena momentum kontestasi sesaat. Toh yang terpilih juga menjadi bupati kita. Mengapa sibuk mencibir orang yang berbeda pilihan dengan kita, toh perbedaan adalah rahmat yang mestinya disyukuri sebagai fitrah kemanusiaan kita. Masihkah layak. kita menyebut diri sebagai orang beragama tetapi sibuk dengan fitnah-hasut dan hojat…?

Dalam kacamata sosiologi, kebijakan-kebijakan politik berbasis kepentingan masyarakat menjadi prioritas, lantas apakah politisi kita dapat mewujudkannya? Tentu hal ini tergantung hasil Pilkada (perhitungan suara) nanti. Yang menjadi catatan penting adalah apakah masyarakat memilih pemimpin baru? Mempertahankan yang lama? Ataukah ada “kuda hitam” yang membawa angin segar perubahan untuk Warga Bolmut!. (Rifkal)