Penelitian Dr. Ray Wagiu Basrowi – Health Collaborative Center:
MONITOR Sulut , Jakarta- Orang Indonesia yang belum atau tidak divaksin memiliki skor perilaku Pencegahan Covid-19 yang secara signifikan lebih jelek dibanding orang yang sudah di vaksin. Temuan ini diperoleh dari penelitian Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK yang merupakan Founder dan Chairman Health Collaborative Center bersama tim peneliti dr. Levina Chandra Khoe, MPH dan Qisty.
Menurut Peneliti Utama Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, “hasil utama penelitian ini menunjukkan, responden yang belum divaksin yang jumlahnya 35%, secara signifikan skor CPBI nya lebih rendah dibanding orang yang sudah di vaksin. Artinya, responden yang belum divaksin adalah mereka yang perilaku pencegahan nya jelek. Interpretasi analisis kami menunjukkan bahwa mereka yang belum vaksin justru berpotensi untuk tidak taat prosedur kesehatan (prokes), cenderung mengabaikan pembatasan berjarak, lebih malas untuk tidak menggunakan masker dan cuci tangan, serta cenderung tidak khawatir dengan penyakit Covid-19.”
Penelitian ini dilakukan pada 1880 orang dewasa dari 24 provinsi melalui metode cross-sectional study secara online sepanjang Agustus hingga Oktober 2021. Demografi responden diketahui bahwa 65% responden sudah di vaksin, 21% responden sudah pernah terinfeksi Covid-19, 30% responden diketahui memiliki anggota keluarga yang sudah pernah Covid-19 dan 45% responden diketahui pernah kontak erat dengan penderita Covid-19.
Prinsip penelitian ini mengidentifikasi Skor Covid-19 Prevention Behaviour Index (CPBI Scoring) orang Indonesia terkait perilaku kesehatan dan pencegahan Covid-19 selama masa pandemi. Jadi patokan dari skor CPBI ini adalah, semakin tinggi skor CPBI menunjukkan bahwa mereka lebih banyak dan lebih baik melakukan tindakan pencegahan terhadap COVID-19.
“Yang dikhawatirkan dari temuan ini adalah, meskipun mayoritas orang Indonesia sudah divaksin, tetapi kalau masih ada orang yang secara sadar tidak mau divaksin, mereka ini cenderung untuk tidak taat prokes dan perilaku pencegahannya jelek secara signifikan. Nah, mereka ini tetap bisa menjadi agen penular Covid-19,” ungkap Dr. Ray.
Menurut Ray, penentuan skor CPBI ini sudah dipakai di banyak negara di selama masa pandemi, dan pendekatan yang sama seperti di beberapa negara juga diterapkan pada penelitian ini. Instrumen penelitian yang dipakai juga sama dan sebelum pengambilan data divalidasi pada responden orang Indonesia terlebih dahulu, serta yang terpenting sudah mendapatkan ijin etik penelitian kesehatan dari Lembaga Kaji Etik Penelitian.
Penelitian ini juga menilai skor perilaku pencegahan responden dari parameter yang lain. Diketahui bahwa responden yang pernah terinfeksi Covid-19, skor CPBI nya signifikan tinggi. Begitupun dengan responden yang anggota keluarganya pernah terinfeksi Covid-19 atau pernah kontak erat dengan penderita terkonfirmasi Covid-19, skor CPBI nya juga signifikan tinggi, yaitu skor 52 dari range 10-60.
“Artinya adalah, pengalaman sebagai penyintas Covid-19, atau pernah kontak erat atau pengalaman menyaksikan anggota keluarga pernah menderita Covid-19 menjadikan responden lebih baik dan ketat dalam melakukan perilaku pencegahan Covid-19. Dari interpretasi analisis ini, kami menyimpulkan bahwa para penyintas atau orang yang pernah pengalaman kontak erat dan keluarganya pernah Covid-19, mereka kemudian akan lebih taat prokes.” ujar Ray yang suka membagikan edukasi di Instagram @ray.w.basrowi.
Dari penelitian ini, HCC ingin merekomendasikan bahwa pencapaian target cakupan vaksinasi itu wajib harus tinggi, karena kalau masih ada kelompok masyarakat yang tidak mendapat akses vaksin atau tidak percaya vaksin dan menolak divaksin, akan ada potensi individu tidak divaksin yang perilaku kesehatannya memburuk serta tidak taat proses untuk menjadi agen transmisi.
Selain itu edukasi terhadap vaksin juga perlu terus dipromosikan agar mempengaruhi mindset orang untuk mau di vaksin. Kebijakan untuk wajib vaksin di ruang publik juga adalah salah satu strategi pemerintah yang di apresiasi HCC dan wajib didukung semua pihak.
Tentang Health Collaborative Center (HCC)
Health Collaborative Center (HCC) adalah wadah promosi dan advokasi kesehatan non-profit di Indonesia dalam bidang kesehatan masyarakat dan kedokteran komunitas. Didirikan sejak Juni 2019 oleh Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK; Health Collaborative Center (HCC) fokus pada kajian ilmiah, riset dan edukasi/promosi kesehatan di bidang nutrisi, kesehatan kerja, kesehatan ibu dan anak serta kedokteran komunitas. Untuk menjangkau kaum millennial, HCC juga menggunakan platform sosial media dengan inisiatif #SEHATINDONESIA.
Tentang Dr. dr. Ray W Basrowi, MKK
Dr Ray adalah Dokter Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado dan praktisi kesehatan kerja dan industri nutrisi yang memperoleh gelar Magister Kedokteran Kerja serta Doktor Bidang Ilmu Kedokteran dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Dr. Ray memiliki pengalaman penelitian laktasi dan nutrisi serta kedokteran kerja yang menghasilkan banyak publikasi ilmiah nasional dan internasional. Dr. Ray memiliki pengalaman 15 tahun sebagai praktisi di bidang industri nutrisi dan K3 manajemen perkantoran, dan telah berkarir di beberapa perusahaan produk pangan dan nutrisi.
Informasi lebih lanjut dapat menghubungi:
PR Media Consultant – Health Collaborative Center (HCC)
Lisa : 0812-8771-2645
Riki : 0896-3646-8837