Mitologisasi atau pribumisasi , Reposisi peran pemuda Indonesia

Inal Datunsolang, S.Pd.I, M.Pd
Kader GP Ansor Bolmut

MONITOR SULUT , Maju mundurnya suatu bangsa dapat di lihat dari generasi muda. Ini bukan tanpa sebab, faktanya siklus perubahan zaman tak lepas dari campur tangan peran orang-orang muda. Jika karl Marx berpendapat bahwa perubahan dapat terjadi melalui “pertentangan kelas” dan max Weber dengan “Aliran Kulturalnya” maka hal ini tentu berbeda dengan pandangan seorang penulis besar yang melakukan perlawanan di spanyol yaitu Ortega G Yasset yang mengemukakan bahwa perubahan dapat dilakukan melalui gerakan pemuda.

Peran penting pemuda telah tercatat dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang dimulai dari pergerakan Budi Utomo tahun 1908 di ikuti dengan menjamurnya gerakan paguyuban sebagai entitas kedaerahan yang menghuni Nusantara. Yang seakan-akan merupakan tonggak awal peran pemuda dalam pengawal perubahan bangsa, Sumpah Pemuda tahun 1928, proklamasi kemerdekaan tahun 1945, pergerakan pemuda, pelajar dan mahasiswa tahun 1966, sampai dengan pergerakan mahasiswa pada tahun 1998 yang meruntuhkan kekuasaan Orde Baru selama kurang lebih 32 tahun, sekaligus membawa bangsa Indonesia memasuki masa reformasi. Pernyataan semacam ini lantas kemudian memunculkan pertanyaan mendasar, benarkah demikian?
Mitologisasi atau Pribumisasi
Sedikit bernostalgia, gerakan kaum muda angkatan 1928, cukup berhasil dalam capain tertentu. Hal ini dapat dilihat dari lahirnya sebuah mufakat tentang nasionalisme yang tertuang dalam Sumpah Pemuda yang mengakui bertumpah darah satu, tanah air Indonesia, berbangsa satu, bangsa Indonesia dan berbahasa satu, bahasa Indonesia.

Paham yang menegaskan identitas suatu nation-state modern di bumi Nusantara yang saat itu masih merupakan koloni jajahan Belanda.
Sementara itu, dalam pandangan yang lebih dalam lagi mestinya suatu kejadian tidak akan lahir tanpa ada sumbu-sumbu pemicu di awalnya. Semisal nostalgia di atas, dengan tidak mengesampingkan perjuangan pemuda/para pendahulu (angkatan ’28) di masa itu yang kemudian memunculkan sebuah sumpah (sakral/semacam energy positif) dalam momentumnya, adalah hal ikhwal yang lahir akibat pasca perang dunia pertama. Suka tidak suka, tema anti kolonialisme dan anti imperialisme menjadi kesadaran bersama kaum muda terdidik ( segelintir pemuda yang mengenyam dunia pendidikan barat) kala itu. Yang oleh Dwi Winarno (tokoh muda kaum pergerakan) menyebutnya “komunitas Imaginer” sehingga mendengungkan nama INDONESIA dan menjadi kesadaran nasional. Meskipun belum semua pemuda mengkonsumsinya.

Artinya bahwa, penyebab lahirnya kesadaran nasional di era yang masih serba terbatas itu, memiliki kaitan dengan momentum global pada level yang lebih tinggi. Kesepahaman mengenai “Indonesia” mulai dipersebarluaskan, dan menjadi cita-cita yang mendorong gerakan kearah “kemerdekaan”. Demikian itu adalah imbas yang lahir akibat pergeseran sosial, ekonomi dan politik dunia yang ikut mempengaruhi Negara-negara jajahan kolonial. Positif-negatifnya pun ikut masuk dalam gerak nalar-mental pemuda sebagai entitas yang terus mengalami perubahan. Ditambah pula dengan asumsi dasar bahwa pemuda adalah Agen of change and sosial of control. Layaknya superhero.

Pada titik inilah penulis melihat terjadinya mitologisasi dalam peran pemuda yang memunculkan sebuah dongeng pengantar tidur. Dalam analisis lain, dengan menggunakan pendekatan kritis, penulis secara sadar melihat bahwa perubahan sosial dengan pencarian makna-makna baru dalam gerakan kultural yang sebagaimana menjadi kesadaran pemuda pada umumnya, seakan-akan gerakan pemuda menjadi pemicu utama dalam momentum segala bentuk perubahan sosial di Indonesia. Ini bukanlah sekedar pandangan pesismis berbau sinis.

Melainkan sebuah oto-kritik yang mengarah pada diri setiap orang yang mengaku pemuda dan terus berbangga diri akan mitos-mitos yang sebenarnya di adakan. Bahwa di balik mistifikasi tersebut sebagaimana yang penulis urai sebelumnya adalah bentuk yang tidak sepenuhnya benar. Gerakan pemuda memang lahir dan massif di era tersebut, namun demikian terdapat pemicu didalamnya. Ada kaitan erat antara gesekan dan benturan ekonomi politik dunia yang melahirkan embrio perubahan sosial yang dimaksud. Pada tahapan ini, menegaskan kembali bahwasanya perubahan sosial tidaklah berdiri sendiri, tetapi memiliki kaitan erat dengan kejadian-kejadian yang lebih besar.

Gerakan pemuda di tahun 1945 pun hampir serupa, peran pemuda yang menculik Bung Karno dan Hatta yang saat itu merupakan tokoh pergerakan nasional dan mendesak untuk mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia, yang kita kenal dengan peristiwa Rengas Dengklok yang di prakarsai oleh soekarni dan kawan-kawan adalah imbas dari perang dunia ke dua. Ini mendandakan bahwa, proklamasi kemerdekaan ada kaitannya dengan gejolak politik global dimana perang dunia ke dua berkecamuk. Gejolak Negara-negara dunia yang berperang antara amerika dan sekutu melawan Negara-negara fasis seperti german spanyol Italy dan jepang yang turut mempengaruhi merdekanya Indonesia dari penjajahan Belanda dan jepang. Segudang kejadian ini adalah rangkaian yang turut mempengaruhi kemerdekaan yang di raih Indonesia. Tentu pemuda masa itu merasa turut andil dan lagi-lagi oleh penulis itu benar namun tidak sepenuhnya. Karena ada pemicu di awal, dan berarti tidak terjadi dengan sendirinya.

Di tahapan selanjutnya juga demikian, gerakan pemuda Indonesia yang terjadi di tahun 1966-68 juga adalah imbas akibat perang dingin yang di nahkodai oleh Amerika pada satu sisi dan Soviet di sisi seberang. Blok barat dan Blok timur terus bergejolak dengan perang hegemoni baik sosial maupun budaya. Indonesia akan berkiblat kemana tentu menjadi sebuah pertaruhan yang terjadi dalam narasi global yang mengintarinya. Fase berikutnya malah lebih parah, narasi perang dingin telah usai. Tahun 1998 kemudian dengan gerakan mahasiswanya meruntuhkan rezim orde baru pun tak lepas dari kepentingan narasi global. Orde baru di anggap menjadi penghalang demi tercapainya cita-cita global yaitu kapitalisme internasional.

Setelah blok timur runtuh dengan berbagai macam tanda di antaranya reuni antara german bara dan timur, hancurnya soviet ke berbagai Negara federasi dengan rusia sebagai induknya. Kepentingan global melihat perlu membasmi rezim otoriter yang di pimpin militer dan sangat diktator, sehingganya melahirkan gerakan menumbangkan rezim tersebut adalah sebuah keniscayaan karena di anggap tidak mampu menjadi kaki tangan global dalam mencanangkan globalisasi yang muatannya adalah kapitalisasi Negara-Negara berkembang. Ini menandakan ada campur tangan elit global dalam narasi gerakan mahasiswa di tahun 98. Penting untuk mengetahui dan memahami secara utuh rangkaian kejadian internasional yang turut berimbas pada level nasional kita di Indonesia.

Gerakan mahasiswa yang menumbangkan orde baru kemudian di jadikan sebagai euphoria atau semacam kebanggan jenis tersendiri bagi mahasiswa. Kesalahan terbesarnya adalah tunggangan dari kepentingan internasional tidak di urai secara tuntas sehingga melahirkan sebuah pemahaman bahwa mahasiswa adalah dewa-dewi yang menghantarkan Indonesia ke arah reformasi.

Yang pada prakteknya dapat secara lugas kita ungkapkan sebagai sebuah reformasi yang kebablasan dimana hukum tajam ke bawah tumpul ke atas dan pendidikan belum merata di semua pelosok negeri, kesehatan menjadi barang langka sebab orang miskin akan sangat kewalahan membayar biaya rumah sakit yang terlampau tinggi, di wilayah sosial budaya, masih beraninya Negara-negara tetangga mencaplok adat budaya Indonesia seakan milik mereka, katakanlah kasus batik dan lain-lain sebagai bukti kongkrit
Secara sederhana, penulis ingin merombak salah kaprahnya generasi muda dewasa ini yang masih melihat kejadian masa lampau sebagai aksi heroik tanpa ada tendensi dan mainan dari kepentingan global. Sebagai bentuk penyadaran lainnya adalah, harga gula, kopi,garam dan banyak lagi kebutuhan rumah tangga kita masing-masing yang mesti di penuhi sehari-hari tidaklah terlepas dari mainan dan kepentingan global. Inilah yang penulis maksud dengan Pribumisasi pemahaman dan gerakan pemuda. Dima a tetap berakar pada nilai0nilai luhur yang tetap konsisten dalam melihat problem sekaligus menyediakan solusi.
Penutup
Sebagai catatan akhir dalam uraian singkat ini, penulis ingin menegaskan kembali bahwa gerakan pemuda dewasa ini mestilah terencana dengan matang, tentu dengan menggunakan multi pendekatan. Tidaklah efektif gerakan pemuda bila tidak mampu memilah dan memilih isu dan opini yang tepat untuk di garap. Apabila ingin melahap semua segmen dan isu tentu akkan terjadi kekeringan strategi dan aksi, sebab fakta akan berjalan sangat cepat ketimbang teori yang di pahami oleh pemuda. Butuh keseriusan dan rencana teratur dalam setiap gerak langkah pemuda di srtiap tarikan nafas. Multi disiplin pengetahuan tentu membutuhkan energy yang tidak sedikit.

Keberlangsungan peran kaum muda di masa-masa mendatang akan berpangkal pada keseriusan jalan yang di pilih. Pemuda Indonesia umumnya dan bil khusus bagi pemuda yang masih tetap setia dengan gerakan mengisi kemerdekaan ini penulis menyarankan untuk tetap bernafas dalam satu tarikan sembari menyediakan solusi dengan multi strategi dalam setiap tindakan guna menjadi manusia-manusia mulia dengan tetap konsisten pada api perjuangan mengisi kemerdekaan Indonesia yang tercinta. (Rif)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *